GAYA HIDUP BERTETANGGA PENDUDUK KOTA

 (Designed by Freepik http://www.freepik.com )


Salah satu bentuk interaksi sosial dalam masyarakat adalah bertetangga. Bertetangga bagi masyarakat Indonesia agaknya merupakan hal yang cukup diperhatikan. Beberapa waktu yang lalu ada kasus tentang warga yang menolak menyolati jenazah teroris, ada juga yang tidak mau karena beda pilihan dalam pemilu. Ini menunjukan bahwa sebagian masyarakat Indonesia sangat perhatian dengan perbedaan antar individu yang terjadi dalam sebuah kawasan pemikiman.

Suatu keharusan bahwa sebuah keluarga harus saling menghormati keluarga lainnya dan sebaliknya. Hingga ada sebagian masyarakat yang menuntut seperti ada kewajiban untuk srawung –bergaul- dengan tetangga. Bahkan ada kawasan penduduk yang mewajibkan warganya membawa ‘kartu absen’ arisan atau semacamnya jika ingin mengurus surat. Alasanya adalah salah satu bentuk kontrol terhadap warga. Lalu bagaimana untuk warga yang jarang hadir pada kegiatan itu? Ya mereka mendapat sanksi, sanksinya dua pertama sanksi sosial yaitu gunjingan dan kedua yaitu membayar denda.

Pada jaman sekarang ini, benarkah orang-orang semakin tidak peduli dengan  tetangga mereka? Jawabanya adalah relatif, bisa benar dan bisa tidak
.
Berbicara soal bertetangga di wilayah kota besar baiknya kita lihat dulu kawasan pemukimannya. Kawasan pemukiman penduduk di kota besar makin beraneka macam, mulai dari kampung, perumahan, rumah susun, hingga apartemen. Kawasan pemukiman penduduk ini punya pola bertetangga yang berbeda-beda.

Ketika seseorang tinggal di kawasan kampung maka warga yang baik adalah warga yang sering ikut kumpul dalam kegiatan-kegiatan formal dan non-formal. Bergaul dan berkumpul bersama tetangga pada kegiatan non-formal adalah suatu hal yang ibaratnya ‘sunnah muakad’- boleh tidak dilakukan tapi lebih baik dilakukan. Biasanya jika ada warga yamg jarang berkumpul harus siap kena sanksi sosial. Sanksi sosialnya apa? Macam-macam bentuknya, bentuk paling ringan adalah gujingan. Bahkan pagar atau pintu rumah mereka kadang dibiarkan terbuka, seolah-olah tetangga boleh masuk sewaktu-waktu.

Kawasan selanjutnya adalah kawasan perumahan. Warga kawasan perumahan biasanya akan kumpul pada kegiatan-kegiatan formal saja atau yang pasti-asti saja. Mereka berkumpul jika ada acara resmi seperti arisan, pengajian, PKK, atau tahlil yang rutin diadakan oleh warga setempat. Mereka tidak sempat untuk melakukan kegiatan kumpul-kumpul yang tidak jelas. Karena mereka sudah sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan mereka.

Beberapa kota besar dan sekitarnya, rumah susun bukan hal asing lagi. Warga rumah susun ini mirip-mirip dengan warga kawasan kampung. Sebenernya konsepnya seperti apartemen tapi tidak ada maintenance jadi ya mereka yang tinggal disana rasa memilikinya kurang. Biasanya warga rumah susun ini kombinasi antara warga kampung dan warga perumahan. Ada warga yang membuka warung di lokasi rumah susun. Biasanya warung ini akan dijadikan base camp non-formal oleh warga laki-laki. Untuk warga perempuan mereka akan berkumpul di salah satu rumah atau spot di lantai tertentu yang menurut mereka nyaman untuk bergosip. Untuk warga-warga yang bertipe warga perumahan tapi masih tinggal di rumah susun mereka akan tetap pada style-nya. Mereka hanya menghadiri acara-acara formal.

Kawasan selanjutnya yang dibahas adalah kawasan apartemen. Beberapa apartemen menyediakan maintenance dan fasilitas sebaik mungkin agar warganya kerasan. Warga di kawasan apartemen boleh jadi tidak kenal satu sama lain. Kamar di kanan kirinya kosong atau isi pun tidak ada yang tahu. Acara kumpul-kumpul baik formal maupun non-formal rasanya nihil. Mereka-mereka ini lebih parah tidak srawung-nya dibanding warga di perumahan.

Bicara soal warga di tiap kawasan kita tidak bisa melupakan warga yang masih berstatus remaja dan anak-anak. Mereka juga memiliki gaya masing-masing dalam bertetangga. Remaja dan anak-anak pada kawasan kampung pun seolah-olah dibebaskan untuk bermain dan berkumpul tanpa ada batasan waktu. Bahkan banyak ditemui anak-anak yang masih berkumpul dan bermain hingga malam.

Sama halnya di kampung, remaja dan anak-anak di kawasan perumahan juga mengenal dengan yang namanya berkumpul. Tapi biasanya mereka punya jam-jam kumpul yang dibatasi oleh orang tua. Misalnya ketika selesai mengaji mereka boleh bermain dan harus pulang sebelum adzan Maghrib. Jarang ditemui remaja dan anak-anak yang bermain atau berkumpul hingga larut malam dalam kegiatan-kegiatan non-formal.

Pada kawasan rumah susun, remaja dan anak-anak juga mengadakan perkumpulan. Remaja dan anak-anak disini biasanya mengikuti pola atau gaya orang tuanya. Jika orang tua menganut gaya kumpul-kumpul non-formal bisa jadi anaknya akan begitu juga dengan teman-temanya.

Namun hal tersebut tidak terjadi di kawasan apartemen, remaja dan anak-anak yang tinggal di apartemen biasanya berkumpul dengan teman dari sekolah mereka atau komunitas yang mereka ikuti. Mereka kebanyakan tidak saling kenal dengan tetangga sesama penghuni apartemen.

Secara psikologis berkumpul dengan warga lainya adalah hal yang baik dalam perkembangan kemampuan interaksi sosial. Namun ketika seorang individu yang memiliki kepribadian cenderung pendiam, pemalu, dan sejenisnya, hal tersebut merupakan hal yang sangat berat. Begitu pula sebaliknya dengan individu yang memiliki kebutuhan berafiliasi yang tinggi sangat berat dengan kondisi kawasanya yang jarang berkumpul.

Kontrol sosial memang diperlukan dalam bertetangga. Namun sering kali kita memberikan penilaian kepada tetangga kita melalui perspektif diri kita sendiri. Sehingga hal tersebut mempengaruhi penilaian dan perilaku kita terhadap tetangga.  Penilaian kita yang salah terhadap tetangga membuat kita menjatuhkan sanksi-sanksi sosial yang keliru.

Maka yang perlu dilakukan agar kita tidak salah dalam menilai dan berperilaku terhadap tetangga kita adalah mengubah perspektif atau cara pandang kita. Sehingga kita lebih memahami mengapa tetangga kita berperilaku seperti itu.


You Might Also Like

0 komentar