TAKUT DISANGKA GILA



Suatu hari saya mendapat tugas turun lapangan ke sekoloah untuk mencari beberapa siswa yang membutuhkan bantuan. Setelah mendapatkan ijin dari sekolah yang dituju kami mencari siswa-siswa yang membutuhkan bantuan dengan cara menggunakan database dari sekolah mengenai siswa-siswa yang perlu perhatian lebih. Singkatnya saya mendapat klien anak SD kelas 4. Saya tidak akan menceritakan kasusnya seperti apa tapi yang saya soroti adalah orang tuanya. Sebelum melaksanakan assessment psikologi saya dan sekolah meminta persetujuan kepada orang tua klien dan mereka mengijinkan.

Asesmen berjalan lancar walaupun orang tuanya agak susah ditemui. Jadi saya melakukan sebagian besar wawancara kepada orang tua di sekolah.  Hingga tibalah saat psikotes. Malam harinya orang tua memberitahukan bahwa klien tidak bisa ikut psikotes karena akan diajak ortunya ke luar kota. Esoknya ternyata si klien ini masuk sekolah. Ayahnya bilang ke wali kelas kalau anaknya tidak bisa ikut psikotes karena akan dijemput pukul 12.00 dan berangkat keluar kota. Sedangkan psikotes dimulai pukul 8.00-10.00. Menurut wali kelas, klien tetap bisa ikut psikotes karena ada selisih waktu 2 jam antara selesai psikotes dan waktu penjemputan klien dari sekolah.

Singkat cerita setelah mengalami adu argumen antara wali kelas dan ayahnya klien, si klien diijinkan ikut psikotes. Pukul 8.00 saya mulai psikotes hingga pukul 9.30 si ibu menelpon saya dengan marah-marah. Intinya dia sudah bilang kalau anaknya tidak bisa ikut psikotes hari itu tapi kenapa tetap diikutkan. Setelah berdebat dengan si ibu dan ia memaksa untuk menjemput anaknya saat itu juga, ya terpaksa saya kabulkan karena itu orang tua klien. Untungnya hanya tes grafis yang belum saya berikan kepada si klien pada saat itu. Akhirnya saya melakukan tes grafis di lain waktu.

Setelah hasil psikotes keluar, IQ normal, kepribadian tidak ada gangguan terhadap si anak, dan hasil lainya saya sampaikan kepada sekolah dan orang tua secara terpisah. Ketika saya menyampaikan kepada orang tua, pihak orang tua meminta agar hasilnya tidak disampaikan kepada sekolah dengan alasan takut mempengaruhi nilai anak dan pandangan pihak sekolah terhadap si anak. Si ibu takut bahwa anaknya di cap anak yang bermasalah secara psikologis.

Pengalaman ini memberi saya banyak pelajaran. Pertama, tentang mindset masyarakat kita tentang gangguan psikologis dan gangguan lainya. Tanpa disadari, masyarakat kita masih mengkotak-kotakan orang-orang dan memberi label. Labeling ada untung dan ruginya. Keuntunganya ketika seorang anak sudah diketahui gangguan psikologisnya akan lebih mudah penangananya. Ruginya, dengan labeling ini, individu terlabel akan merasa lebih terdiskriminasi oleh masyarakat. Bahkan banyak masyarakat yang menyembunyikan identitas keluarganya yang mengalami gangguan psikologis akibat adanya labeling dan diskriminasi. Saya mau tahu dan memahami alasan keluarga yang melakukan hal ini. Karena siapa sih yang mau jadi berbeda dan dibedakan. Berbeda dalam arti yang kurang baik menurut penerimaan sebagian masyarakat. Banyak sanksi sosial yang akhirnya dirasakan oleh keluarga atau individu yang memiliki gangguan psikologis. Mereka harusnya diayomi bukan didiskriminasi.

Kedua, ternyata bagi sebagian orang, psikotes adalah sebuah momok tersendiri. Banyak orang yang enggan melakukan psikotes dengan alasan takut sisi “lain”nya terkuak. Seolah-olah dengan adanya psikotes ini semua rahasia akan terbongkar. Ya tidak seperti itu, dikira kita para praktisi psikologi ini dukun. Padahal semakin cepat kita tahu ada atau tidaknya gangguan psikologis akan berguna bagi kita. Kita akan berupaya melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan atas gangguan tersebut.

Ketiga, bagi masyarakat, semua gangguan psikologis disamaratakan. Gangguan psikologis dianggap sebagai gila. Jadi orang yang mengidapnya akan menjadi ORANG GILA. Padahal tidak semua gangguan psikologis itu sama seperti arti orang gila seperti yang ada di pikiran masyarakat. Bahasa ilmiahnya mereka menggeneralisasikan semua gejala dalam sebuah istilah tertentu.

Walaupun saat ini gaung tes psikologi dimana-mana, di rekrutmen, penerimaan siswa, dan berbagai hal lainya tapi belum memberikan wawasan yang benar tentang psikotes itu sendiri. Solusinya bagaimana agar masyarakat ini paham tentang wawasan psikotes yang benar? Sebenarnya perangkat masyarakat adalah wadah untuk mewujudkan itu. Tapi penyuluhan saja sepertinya tidak berpengaruh besar. Wawasan ini bisa juga di dapat dari obrolan non formal yang memperbaiki mindset.  Misal, perangkat desa/lurah memberikan penyuluhan pada kegiatan PKK atau perkumpulan rutin. Jadi, perkumpulan ini tak hanya soal demo masak, beauty class, tanaman toga, atau bahkan gunjingan yang merugikan. Ada upaya perubahan mindset. Memang hasilnya tidak bisa langsung dirasakan dalam waktu dekat. Karena mengubah mindset tak sehari dua hari. Manusia butuh pengulangan, manusia butuh waktu apalagi kalau mindset ini di perkuat oleh lingkungan sekitar.

Sebenarnya, kalau mau jujur, sebagian masyarakat ini sudah tahu kok tentang wawasan yang benar tentang gangguan psikologi dan tes psikologi. Tapi ada yang tahu tapi tak mau jadi tetap saja perilakunya sama walaupun pengetahuannya bertambah. Apakah mindset berubah? Belum tentu. Ya secara pengetahuan dia berubah dari tidak tahu menjadi tahu. Tapi mengubah dari tidak mau menjadi mau ini susah karena melibatkan preferensi (kecenderungan/kesukaan) yang berhubungan juga dengan mindset kita.

Jadi, sebagai orang-orang yang sudah terpapar arus internet dan informasi hampir di setiap detik kehidupan kita, baiknya kita ikut memperkaya diri dengan wawasan itu dan tidak iku-ikutan jadi orang yang salah kaprah menerjemahkan gangguan psikologi maupun tes psikologi ke dalam satu hal yang sama yaitu Kegilaan.


You Might Also Like

0 komentar